“Coretan Pena Tumpul dalam Sobekan Kertas Lusuh“
“Kami taat, kami percaya. Tapi kami ditinggalkan.”
Di setiap konstitusi, negara didefinisikan sebagai pelindung warganya. Tapi apa arti perlindungan bila yang dilindungi hanyalah kursi kekuasaan dan arus modal? Rakyat telah berulang kali membuktikan kesetiaan: membayar pajak, patuh pada aturan, bahkan memilih pemimpinnya dengan harapan. Namun yang mereka dapatkan justru pengabaian. Negara tidak buta, tapi memilih untuk tidak melihat. Ia tidak tuli, tapi menolak mendengar suara dari bawah.
Yang terasa hari ini bukanlah negara yang hadir untuk rakyat, tapi negara yang hadir untuk melanggengkan sistem.
Sistem yang dibungkus jargon pembangunan, tapi menyingkirkan warga dari tanahnya sendiri. Sistem yang katanya demokratis, tapi anti kritik dan represif.
Sistem yang katanya legal, tapi tunduk pada kekuatan modal.
Refleksi ini membongkar wajah negara yang tidak lagi melindungi. Wajah yang tak hanya menjauh dari rakyatnya, tapi secara sistemik menjadikan rakyat sebagai beban — bukan sebagai pemilik kedaulatan.
NEGARA HADIR, TAPI UNTUK SIAPA?
“Negara ini tidak absen. Ia hadir. Tapi kehadirannya sering kali menjadi ancaman, bukan harapan.”
Dalam setiap krisis yang melibatkan konflik antara rakyat dan kekuasaan, negara selalu datang. Tapi rakyat makin sadar: negara datang bukan sebagai penyeimbang, bukan pula sebagai pelindung. Negara datang sebagai pengaman kepentingan, dan biasanya bukan kepentingan rakyat.
Dalam kasus Rempang, negara hadir — membawa aparat, bukan pengacara rakyat. Dalam konflik tambang di Wadas, negara hadir — membawa alat berat, bukan ruang musyawarah. Dalam perlawanan buruh dan petani, negara hadir — membawa barikade, bukan perlindungan.
Kehadiran negara telah menjelma menjadi mimpi buruk bagi mereka yang hidup dari tanah, laut, dan tenaga sendiri. Bukan karena negara abai, tapi karena negara memilih kehadiran yang selektif
— berpihak pada kekuatan yang punya modal, bukan suara yang punya penderitaan.
Kondisi ini melahirkan kecurigaan struktural: bahwa negara tidak lagi netral. Ia telah menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas, bukan penengah yang melindungi. Negara bukan lagi “milik bersama”, melainkan “perpanjangan tangan” dari sekelompok kecil elite yang mengendalikan arus kebijakan, proyek, dan keamanan.
NEGARA HADIR DARI ATAS, BUKAN DARI BAWAH
Kehadiran negara selalu dimulai dari “atas”. Dari rencana investasi, proyek strategis, program nasional. Lalu menyusup ke bawah sebagai kewajiban yang harus diterima. Rakyat tidak pernah diajak bicara dalam penyusunan kebijakan. Mereka hanya tahu saat tanahnya sudah masuk peta proyek, saat rumahnya mendapat surat peringatan, saat suara penolakan mereka dijawab dengan deretan pasal dan pasukan.
Negara hadir dengan peta, tapi tidak dengan empati.
Negara membawa data, tapi tidak membawa kesadaran bahwa di balik angka, ada nyawa dan keluarga.
Inilah wajah negara teknokratis — yang mengukur segala hal dengan efisiensi, tapi lupa bahwa rakyat bukan angka statistik. Inilah wajah negara yang hadir dari atas, tapi kehilangan akar ke bawah.
MOTIF KEHADIRAN NEGARA: KEPENTINGAN ATAU KEMANUSIAAN?
Rakyat makin paham bahwa kehadiran negara sering kali bukan karena cinta, tapi karena kalkulasi politik dan ekonomi. Negara datang untuk mengamankan proyek, bukan menyelesaikan konflik. Ia hadir bukan untuk mencegah penderitaan, melainkan mencegah kerugian investor.
Bukan tanpa sebab rakyat mulai apatis. Mereka melihat sendiri bagaimana pemerintah bisa begitu sigap mengamankan tambang, bandara, atau jalan tol — tapi lambat saat mereka mengadu soal harga pupuk, air tercemar, atau anak yang ditangkap karena status di media sosial.
Rakyat tahu: kehadiran negara tidak netral. Ia berpihak — dan keberpihakan itu sering kali bukan kepada mereka.
DAMPAK PSIKOLOGIS: RASA TAKUT DAN TRAUMA KOLEKTIF
Kondisi ini menciptakan luka kolektif yang dalam. Rakyat tidak hanya miskin secara ekonomi, tapi juga secara rasa aman. Mereka hidup dalam ketakutan bahwa setiap suara, setiap tuntutan, setiap keberanian bisa dibalas dengan kekerasan.
Rasa takut ini menjadi warisan diam-diam di kampung-kampung, pasar, dan desa adat. Anak-anak dibesarkan dengan pesan: “Jangan melawan negara.” Padahal mereka tidak diajarkan: bagaimana jika negara yang menyerang lebih dulu?
Inilah ironi yang memilukan: Negara yang konon lahir untuk melindungi, justru menjadi sumber luka paling dalam dalam sejarah hidup rakyat kecil.
Maka ketika rakyat memilih diam, itu bukan bentuk kepasrahan. Itu adalah mekanisme bertahan dari sistem yang terus melukai. Mereka diam karena tahu, suara mereka akan dipelintir. Mereka diam karena sadar, perjuangan terlalu berat jika dilakukan sendirian.
Tapi diam itu menyimpan bara. Diam itu bukan hilang. Di balik diam itu, ada keyakinan yang sedang tumbuh: bahwa akan datang waktu di mana suara rakyat tak bisa lagi diabaikan.
Negara boleh terus datang untuk investor, Tapi rakyat sedang bersiap untuk memanggil Satriyo dari Timur — bukan sebagai penyelamat tunggal, tapi sebagai kesadaran kolektif bahwa negara ini perlu diselamatkan dari ketimpangan keberpihakan.
BIROKRASI YANG MENINGGI, RAKYAT YANG MENYUSUT
“Ketika meja-meja kekuasaan makin tinggi, suara rakyat makin tenggelam.”
Negara ini tidak lahir dari ruang-ruang ber-AC di kementerian. Ia lahir dari peluh para buruh, doa para petani, dan tangis diam para ibu yang menahan lapar anak-anaknya demi satu piring nasi. Tapi sayangnya, justru kepada merekalah birokrasi hari ini paling sulit memberi ruang.
Rakyat kecil, yang semestinya menjadi penerima utama pelayanan publik, justru dipaksa berhadapan dengan tembok-tembok administrasi yang dingin dan menjulang tinggi. Mereka datang ke kantor pemerintah bukan untuk minta belas kasihan, tapi untuk menagih hak. Namun, sering kali mereka hanya mendapatkan lirikan sinis, kalimat ketus, dan formulir-formulir yang tak ramah bagi yang hanya lulus sekolah dasar.
Dalam wajah birokrasi kita hari ini, sering kali tak tampak kesadaran bahwa pelayanan adalah amanah. Yang lebih tampak adalah ketakutan akan audit, kekhawatiran pada atasan, dan ketergantungan pada “sistem” yang dibangun bukan untuk memudahkan rakyat, tapi untuk menjaga agar tak ada yang bisa menggugat struktur kekuasaan itu sendiri.
Birokrasi yang ideal bukanlah yang penuh aturan, melainkan yang penuh nurani. Tapi kenyataannya, nurani sering kali kalah oleh jabatan. Kalah oleh target. Kalah oleh budaya ABS — Asal Bos Senang.
Rakyat hanya ingin diperlakukan manusiawi. Tapi justru di negeri ini, perlakuan manusiawi sering dianggap kemewahan.
RAKYAT KECIL, MASUK KE SISTEM BESAR YANG TAK MAU MENUNDUK
Tak sedikit yang datang ke kantor dinas dengan rasa takut. Takut disalahkan. Takut dibentak. Takut dianggap bodoh karena tidak tahu cara isi formulir. Di balik ketidaktahuan mereka, tersimpan luka: bahwa negara tidak pernah sungguh-sungguh mendekatkan dirinya.
Alih-alih mendekat, birokrasi justru meninggi. Ia membangun sistem digital tanpa membangun literasi digital. Ia membuat layanan cepat tanpa menyediakan edukasi bagaimana mengaksesnya. Dan dalam semua itu, yang menyusut adalah rakyat — secara kepercayaan, secara martabat, bahkan secara eksistensi.
Ketika rakyat tak paham sistem, mereka dianggap beban. Tapi tak ada pejabat yang bertanya:
Mengapa rakyat tidak paham? Siapa yang bertanggung jawab mengajarkan?
LAYANAN PUBLIK YANG KEHILANGAN ARAH PENGABDIAN
Jika kita jujur, banyak layanan publik hari ini tidak lagi mengabdi. Ia hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa. Aparatur datang pagi, absen, duduk, menunggu jam pulang. Tapi di luar gedung itu, ada rakyat yang antre sejak fajar, yang menggantungkan harapan pada meja tempat mereka duduk.
Ini bukan sekadar keluhan administratif. Ini tanda darurat kemanusiaan dalam pelayanan publik. Negara tidak boleh terus berdiri megah di atas penderitaan rakyat yang tak terwakili. Negara tidak boleh terus berbicara tentang visi misi besar, sementara rakyat bahkan tak bisa melihat wajah pejabat karena terhalang satpam dan kaca hitam.
BANGKITKAN KEMBALI JIWA PENGABDIAN
Sudah saatnya kita menata ulang semangat pelayanan. Bukan lewat pelatihan manajemen, tapi lewat pemurnian nurani. Setiap pegawai negeri, setiap aparat, setiap pemegang kewenangan administratif — harus kembali menunduk, merenung, dan bertanya: “Apakah saya masih melayani, atau hanya menjalankan tugas dengan hati kosong?”
Birokrasi yang baik bukan yang cepat atau canggih semata. Tapi yang bisa dipahami oleh rakyat kecil dan dipertanggungjawabkan dengan kejujuran.
Karena negara bukan milik segelintir orang di balik meja. Negara adalah janji bersama, yang harus ditepati, terutama kepada mereka yang selama ini hanya bisa menunggu di antrean paling belakang.
LOYALITAS NEGARA: KEPADA RAKYAT ATAU MODAL?
“Kami membayar pajak, mereka menandatangani proyek. Tapi suara kami disisihkan, demi suara saham yang makin berkuasa.”
Dalam konstitusi, negara dinyatakan sebagai pelindung segenap tumpah darah Indonesia. Tapi dalam praktiknya hari ini, pertanyaan besar muncul di hati rakyat kecil: untuk siapa negara sungguh-sungguh hadir dan berpihak?
Jika melihat arah kebijakan, siapa yang lebih dulu dilayani: rakyat yang butuh pupuk, atau investor yang butuh lahan? Siapa yang lebih cepat direspon: nelayan yang kehilangan lautnya, atau konglomerat yang menyiapkan pelabuhan pribadi?
Dari situ, rakyat mulai paham — bahwa kesetiaan negara hari ini bukan lagi kepada rakyat. Ia lebih tunduk pada logika modal, proyek, dan investasi. Bahkan hukum pun kerap dibuat sebagai karpet merah bagi kepentingan ekonomi elite, bukan sebagai pagar perlindungan rakyat.
Ketika suara rakyat kalah oleh proposal investasi, maka negara telah kehilangan arah dasarnya. Kita menyaksikan sendiri bagaimana tanah adat dirampas, kawasan lindung dibuka, dan pulau-pulau kecil dijual demi proyek strategis nasional yang hanya “strategis” untuk segelintir pemilik modal.
Negara tidak lagi menjadi penyeimbang. Ia justru menjadi pihak aktif dalam persekongkolan sistemik yang menindas rakyat — dengan dalih pembangunan. Lihatlah:
• Rempang, di mana negara lebih sigap menggusur rakyat daripada membuka dialog.
• Wadas, di mana batu lebih berharga dari peluh petani.
• Tambang-tambang nikel dan emas, yang merusak lingkungan dan menenggelamkan kampung.
• Raja Ampat, di mana tanah surga dikorbankan demi kepentingan tambang yang merusak ekosistem dan merampas ruang hidup masyarakat adat Papua.
Semua atas nama “pertumbuhan ekonomi”, tapi tak pernah dijawab: ekonomi untuk siapa? Apakah
rakyat ikut menikmati, atau hanya jadi korban yang harus pindah dan diam?
Inilah bentuk kolonialisme baru. Bukan dari bangsa asing, tapi dari elite dalam negeri yang meminjam tangan negara untuk memperkaya diri dan kroninya. Negara yang terlalu dekat dengan modal akan mudah tergoda untuk menjual kedaulatan demi keuntungan jangka pendek.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi simbol kebijakan yang mempermudah investor tapi mengorbankan rakyat:
• Pasal 69 menghapus perlindungan masyarakat adat dalam praktik pembakaran lahan tradisional.
• Pasal 22 ayat (2) dalam PP Pengadaan Tanah hanya mengakui masyarakat adat jika diatur dalam Perda—sebuah syarat administratif yang sering mustahil dipenuhi.
Padahal, konstitusi kita jelas menyatakan:
• Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
• Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menjamin keberadaan dan hak masyarakat adat.
Sayangnya, dalam praktik, rakyat dianggap pengganggu pembangunan. Petani dituduh penghuni ilegal, nelayan dicap provokator, buruh ditangkap karena menolak PHK. Regulasi dibentuk agar investor nyaman, bukan agar rakyat terlindungi.
Pertumbuhan ekonomi dijadikan tameng. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tapi sebagai pelaksana proyek raksasa yang tak berpihak pada wong cilik. Dalam sistem seperti ini, rakyat bukan lagi subjek pembangunan. Mereka adalah tumbal: diam, digusur, dan dilupakan.
Satrisme berdiri bukan untuk menolak pembangunan, melainkan untuk melawan pembangunan yang mengorbankan martabat manusia. Kami menolak negara yang abai, dan melawan dengan jalan konstitusional. Karena dalam diam rakyat, ada api kesadaran yang suatu saat akan menyala.
Pemerintah sering membela diri dengan menyebut ini sebagai “pembangunan nasional”. Tapi apa arti pembangunan jika hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang? Ketika rakyat dipaksa pindah, tapi tidak ikut menikmati hasilnya. Ketika ruang hidup dijual, tapi penghuninya tidak dihitung.
Ketika proyek mengalirkan triliunan, tapi listrik dan air tak sampai ke rumah warga.
REFLEKSI PERLAWANAN: BUKAN ANTI KEMAJUAN, TAPI ANTI KETIDAKADILAN
Satrisme tidak lahir untuk menolak kemajuan. Tapi Satrisme berdiri sebagai penjaga akal sehat dan nurani, saat pembangunan kehilangan arah dan menjelma menjadi mesin penindas rakyat. Kami bukan kaum pengganggu, melainkan suara yang berusaha mengembalikan makna pembangunan kepada hakikatnya: membebaskan, bukan menindas. Mensejahterakan, bukan menggusur. Menghidupkan, bukan menghilangkan.
Dalam semangat itulah, Satrisme menolak pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai tumbal demi angka pertumbuhan dan target investasi. Ketika rumah-rumah digusur tanpa ganti untung, ketika tanah adat diklaim sebagai milik negara atau proyek strategis nasional, ketika nelayan diusir dari lautnya demi reklamasi, dan hutan adat diganti tambang nikel demi transisi energi — maka yang sedang berlangsung bukan pembangunan, melainkan kolonialisme gaya baru.
Negara memang memiliki kewenangan membangun. Tapi konstitusi juga memberi mandat tegas:
• Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
• Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Maka jika rakyat melawan ketidakadilan, itu bukan pelanggaran. Itu adalah ekspresi sah dalam negara demokratis. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 dan Pasal 25 menegaskan hak setiap warga untuk:
• Menyatakan pendapat secara bebas,
• Mengorganisasi diri,
• Melawan penindasan secara damai.
Lebih jauh, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007 menyatakan bahwa tindakan warga dalam menyuarakan aspirasi sosial-politik melalui unjuk rasa damai adalah bentuk partisipasi yang dijamin konstitusi dan tidak boleh dihalangi oleh negara.
Oleh karena itu, perlawanan rakyat yang dilakukan secara sah, damai, dan bermartabat bukanlah bentuk subversi. Tapi perwujudan cinta tertinggi terhadap tanah air. Karena hanya rakyat yang mencintai negeri ini yang berani mengatakan: “Negara telah menyimpang, dan harus kembali ke jalan keadilan.”
Kami menolak pembangunan yang hanya menjadi ladang rente dan proyek elite. Kami menyerukan pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Yang mendengar sebelum membangun, yang melibatkan sebelum memutuskan.
Satrisme adalah suara dari bawah yang menyerukan bahwa pembangunan tanpa keadilan hanyalah kesewenang-wenangan yang dibungkus narasi kemajuan. Dan dalam wajah-wajah rakyat yang ditindas itulah, kesadaran kolektif sedang tumbuh. Diam mereka bukan penundukan, tapi pematangan. Dan kelak, dari diam itu akan lahir gelombang yang menyapu seluruh ketimpangan
— dengan keberanian yang konstitusional, dan perlawanan yang bermartabat.
Saat negara lebih cepat menandatangani kontrak investasi daripada membuka ruang dialog dengan rakyat, maka bangsa ini sedang berjalan ke arah yang salah. Sebab, pembangunan tanpa keberpihakan adalah kekuasaan tanpa jiwa. Ia kehilangan makna sebagai alat pembebasan dan berubah menjadi alat represi yang sistematis.
Ketika hutan adat digusur, ketika laut dijadikan zona industri, dan ketika rakyat diminta untuk “mengalah” demi kepentingan proyek — maka sebenarnya negara sedang melepaskan diri dari akar sejarah dan jati dirinya sendiri. Indonesia didirikan bukan oleh kekuatan modal, tetapi oleh keberanian moral para pejuang dan kesadaran rakyat yang bersatu melawan penindasan.
Dan jika negara terus menutup mata, maka perlawanan akan tumbuh. Bukan dari senjata. Tapi dari kesadaran. Dari kesatuan jiwa yang lelah ditindas dan sadar bahwa diam terlalu lama hanya akan memperpanjang luka.
Satriyo saka Wetan bukan mitos. Ia adalah metafora kolektif. Ia adalah simbol jiwa-jiwa yang bangkit dari keterpinggiran. Dan saat perlawanan itu menyala — dari Wadas yang berbatu, dari Rempang yang bergolak, dari Raja Ampat yang dilukai, dan dari penjuru-penjuru tanah air yang terlupakan — maka saat itulah bangsa ini akan menghadapi dirinya sendiri. Apakah akan tetap buta oleh kekuasaan, atau kembali menemukan cahaya keadilan.
KETIKA MODAL JADI RAJA, RAKYAT JADI TUMBAL
Ketika negara terlalu akrab dengan modal, maka garis batas antara kepentingan publik dan keuntungan pribadi menjadi kabur. Negara tidak lagi menjadi penyeimbang, tetapi berubah menjadi perantara kekuasaan yang menjual kedaulatan hanya demi angka dan grafik pertumbuhan. Inilah kolonialisme baru yang lebih licin: bukan datang dari bangsa asing, tapi dari elite dalam negeri yang meminjam tangan negara untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Birokrasi disusun bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk melindungi kenyamanan investor. Regulasi diubah, dipercepat, dan disesuaikan, bukan untuk memperkuat perlindungan terhadap masyarakat, tapi untuk membuka jalan selebar-lebarnya bagi akumulasi modal. Di balik narasi “kemudahan berusaha” atau “proyek strategis nasional”, tersembunyi banyak penderitaan yang tak pernah masuk berita.
Petani yang telah mendiami tanah leluhur puluhan tahun tiba-tiba dituduh sebagai penghuni liar. Nelayan yang menolak reklamasi dianggap perusuh. Buruh yang memperjuangkan haknya dipukul dengan pasal pidana. Semua karena mereka mengganggu skema investasi yang telah dirancang tanpa melibatkan mereka. Dalam paradigma ini, rakyat tidak lebih dari statistik, hambatan teknis yang harus disingkirkan dengan cara halus atau paksa.
Inilah wajah ketimpangan yang dilegalkan: ketika pembangunan dimaknai sebagai pemujaan terhadap modal semata. Padahal konstitusi menegaskan bahwa kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Tapi dalam praktik, keuntungan hanya mengalir ke segelintir elite, sementara rakyat dibebani dengan kehilangan tanah, pekerjaan, dan harga diri.
Contoh konkretnya terlihat dalam implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) yang memberi karpet merah kepada investasi, namun mengabaikan prinsip partisipasi rakyat dan perlindungan ekologis. Pasal-pasal tentang pengadaan tanah, kemudahan izin, dan pengurangan perlindungan buruh menjadi bukti bahwa hukum tidak lagi dibuat sebagai alat keadilan, melainkan sebagai perisai kepentingan.
Rakyat yang bersuara pun dicurigai. Ruang partisipasi menyempit, sementara kekuasaan negara semakin difungsikan sebagai operator proyek-proyek yang bahkan rakyat tidak tahu siapa pemilik manfaatnya. Dalam situasi seperti ini, tidak heran jika rakyat mulai bertanya: “Negara ini milik siapa?”
Ketika modal jadi raja, maka demokrasi jadi panggung sandiwara. Dan rakyat, yang seharusnya menjadi pemilik sah negeri ini, justru dikorbankan di altar investasi. Mereka kehilangan segalanya
— tanah, laut, udara bersih, bahkan suara — atas nama pembangunan yang tak pernah menjawab: untuk siapa sesungguhnya semua ini dibangun?
LOYALITAS YANG TERBALIK: DARI KEADILAN KE KOMERSIALISME
Rakyat tidak menuntut negara sempurna. Mereka hanya ingin negara bersikap adil — melindungi yang lemah, menertibkan yang kuat, dan menjadi penyeimbang dalam arus kompetisi ekonomi. Tapi harapan itu perlahan runtuh ketika negara lebih mirip agen pemasaran investasi daripada pelindung kehidupan warganya. Semua hal kini diukur dengan parameter ekonomi semata: hutan harus menghasilkan, laut harus ditambang, bahkan derita kemiskinan pun dijadikan panggung pencitraan lewat program bantuan sosial yang dikemas seolah-olah sebagai bentuk kepedulian.
Dalam tatanan ini, loyalitas negara tidak lagi kepada rakyat, melainkan kepada angka-angka pertumbuhan, laporan neraca investasi, dan rating lembaga keuangan internasional. Konsep good governance yang seharusnya menjamin keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas rakyat, tergantikan oleh konsep efficiency yang menekankan hasil cepat tanpa mempedulikan proses yang adil.
Akibatnya, negara tampak sibuk. Tapi kesibukan itu bukan untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Melainkan sibuk membungkus ketimpangan dengan narasi pembangunan. Sibuk meresmikan proyek, tapi tak hadir saat rakyat kehilangan tanahnya. Sibuk membagikan bantuan sosial, tapi tak mampu mengendalikan harga bahan pokok yang terus naik. Sibuk membuat regulasi, tapi menutup telinga terhadap aspirasi rakyat yang ingin hidup layak.
Contohnya:
• Bansos dibagikan secara luas, tapi rakyat tetap sulit membeli minyak goreng dan beras.
• Proyek infrastruktur dipamerkan, tapi lapak pedagang kecil digusur tanpa solusi.
• Statistik kemiskinan diklaim menurun, tapi utang rumah tangga meningkat.
• Izin investasi dipermudah, tapi perlindungan lingkungan dan pekerja dipangkas.
Di tengah kontradiksi ini, rakyat merasa ditinggalkan. Negara tampak bekerja, tapi rakyat merasa sendiri.
Padahal, UUD 1945 mengamanatkan:
• Pasal 34 ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
• Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat…”
Namun realitas berkata lain. Program bansos hanya menjadi alat politik, bukan pemenuhan hak konstitusional. Kemiskinan digunakan sebagai komoditas: ditampilkan dalam baliho, diumumkan di media, dan dijadikan panggung kekuasaan. Ini adalah bentuk komersialisasi penderitaan rakyat yang sangat menyakitkan.
Loyalitas negara yang semestinya kepada keadilan, perlahan bergeser menjadi loyalitas kepada pasar. Kebijakan publik tidak lagi ditakar berdasarkan kebutuhan rakyat, tapi berdasarkan analisis manfaat ekonomi. Inilah bentuk neoliberal yang berbalut nasionalisme semu — seolah membangun bangsa, padahal menjual tanahnya, lautnya, bahkan harga dirinya.
Dan jika ini dibiarkan terus, maka bangsa ini bukan sedang menuju kemajuan, melainkan sedang berbelok ke arah pembusukan nilai-nilai konstitusi. Karena negara yang sibuk membungkus ketimpangan dengan narasi pencitraan, sesungguhnya sedang mengkhianati tugas suci yang diamanahkan rakyat.
Dalam konteks inilah, perlawanan rakyat tidak hanya sah secara moral, tapi juga dijamin secara hukum. Ketika negara tak lagi menepati janjinya sebagai pelindung, maka rakyat berhak mengingatkan. Dan suara yang mengingatkan itu bukan ancaman bagi negara — melainkan napas terakhir agar demokrasi tidak mati dalam senyap.
BANGKITNYA KESADARAN: RAKYAT BUKAN OBJEK, TAPI SUBJEK BANGSA
Kesadaran adalah senjata paling tajam yang dimiliki rakyat. Ia tak terlihat, tapi mampu mengubah sejarah. Kini, kesadaran itu mulai bangkit — dari ladang yang digusur, dari laut yang dicemari tambang, dari pasar yang dirobohkan, dan dari kampung-kampung yang tak lagi dianggap.
Sudah waktunya rakyat menyadari bahwa negara ini bukan milik segelintir orang yang punya saham, akses kekuasaan, atau kartu elite politik. Negara ini adalah milik bersama — dibangun oleh keringat petani, peluh buruh, dan doa-doa rakyat kecil yang tak pernah masuk statistik. Maka, loyalitas negara harus kembali ditegaskan: bukan kepada siapa yang menyumbang paling banyak dalam kampanye, tapi kepada siapa yang paling sering dilupakan dalam kebijakan.
Satrisme hadir sebagai panggilan hati. Ia tidak menjanjikan kekuasaan, tapi mengingatkan akan martabat. Ia tidak memobilisasi amarah, tapi mengorganisir kesadaran. Satrisme mengajak kita untuk menuntut dengan bermartabat — bukan karena kita membenci negara, tetapi karena kita mencintainya cukup dalam untuk berani mengkritiknya.
Kita butuh negara yang hadir bukan hanya di papan proyek, tapi juga di pondok nelayan. Kita butuh hukum yang membela korban ketidakadilan, bukan sekadar membungkus kepentingan pemodal dengan pasal-pasal yang elitis. Kita butuh birokrasi yang mendengar suara rakyat sebelum mendengar bisikan lobi kekuasaan.
Dan untuk itu, rakyat tidak bisa lagi hanya berharap dari panggung politik atau janji-janji lima tahunan. Kesadaran harus dijadikan gerakan. Perlawanan harus menjadi konsolidasi. Kita tidak bisa terus diam sambil berharap perubahan datang dari atas. Karena perubahan yang sejati lahir dari bawah — dari suara yang dulunya dibungkam, dari jiwa-jiwa yang dulunya diremehkan.
Ingatlah: rakyat bukan objek pembangunan. Mereka adalah subjek sejarah. Mereka bukan sekadar angka dalam grafik ekonomi, tapi jiwa-jiwa yang menjaga hidup bangsa ini tetap bernapas.
Dan saat rakyat mulai menyadari peran itu, saat itulah kekuasaan harus gentar. Karena tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada rakyat yang sadar — sadar siapa dirinya, sadar haknya, dan sadar siapa yang harus mereka perjuangkan.
Satrisme adalah jalan kesadaran itu. Jalan yang sunyi, tapi pasti. Jalan yang tak dijanjikan kemenangan cepat, tapi penuh martabat. Jalan yang menolak tunduk pada ketidakadilan, dan memilih berdiri bersama mereka yang selama ini dijatuhkan.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan utama negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum.” Maka, negara tidak boleh hanya hadir untuk pemodal, melainkan untuk setiap warga negara tanpa kecuali.
Lebih jauh, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Ini adalah dasar konstitusional bahwa perjuangan rakyat untuk menjadi subjek, bukan objek, adalah sah, legal, dan dijamin hukum tertinggi negara.
Dan inilah kesadaran baru yang dipikirkan Satrisme: membangun bangsa dari jiwa yang sadar — bukan dari kekuasaan yang membungkam.
Kesadaran bukan sekadar pengetahuan. Ia adalah keberanian untuk berkata: cukup sudah kami dibungkam, cukup sudah kami dijadikan angka di laporan pembangunan. Kini, rakyat mulai membalikkan posisi — dari objek pasif menjadi subjek aktif perjuangan.
Perjalanan ini bukan tanpa resiko. Tapi lebih besar lagi risikonya jika rakyat terus diam. Karena ketakutan yang dibiarkan terlalu lama akan menjelma jadi kebiasaan tunduk, dan itu adalah kematian pelan-pelan bagi sebuah bangsa.
Bangkitnya kesadaran bukan berarti melawan negara, tetapi menyelamatkan negara dari pengkhianatan nilai-nilainya sendiri. Dalam cahaya Satrisme, rakyat bergerak bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mengingatkan. Bahwa kekuasaan yang lalai bisa dibenahi, hukum yang tumpul bisa diasah kembali, dan negara yang menyimpang bisa diarahkan pulang — jika rakyat sadar dan bersatu. Sejarah tak pernah berubah karena elite saja. Ia berubah ketika rakyat tak lagi bersedia dianggap remeh. Dan hari itu telah tiba.
KITA PERNAH PERCAYA
Rakyat tidak pernah lahir untuk melawan. Mereka tumbuh dengan kesetiaan. Mereka mencintai tanah air ini bukan karena dia sempurna, tapi karena dia rumah — tempat hidup, tempat berharap, tempat berpulang.
Mereka bukan pembangkang. Mereka menanam, bekerja, membayar pajak, bahkan mendoakan pemimpinnya. Tapi setiap cinta memiliki batas. Dan batas itu tercapai ketika negara berubah wujud
— dari pelindung menjadi penindas, dari pendengar menjadi penguasa yang tuli.
Kami bukan membenci negara. Justru sebaliknya — karena kami pernah percaya. Kami percaya bahwa hukum akan adil. Bahwa negara akan melindungi. Bahwa pembangunan akan membawa kebaikan. Tapi harapan-harapan itu kini seperti gema di ruang kosong: dipantulkan, tapi tak pernah direspon. Dan luka yang paling dalam bukan datang dari kekalahan, tapi dari pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Sekarang waktunya kita bertanya dengan jujur:
Apakah negara ini masih berpihak pada rakyat?
Apakah hukum masih menjadi payung yang menaungi semua?
Atau justru telah berubah menjadi senjata yang memburu yang lemah?
Jika jawabannya menyakitkan, maka kita tidak boleh diam. Karena diam, dalam situasi seperti ini, bukan lagi netral. Diam adalah bentuk persetujuan atas penindasan.
Dan karena itu, kita harus bergerak. Bukan untuk menjatuhkan negara, tapi untuk menyelamatkan negara dari tangan mereka yang menyalahgunakannya. Karena negara ini terlalu besar untuk dibiarkan runtuh oleh kerakusan segelintir orang.
Satrisme hadir bukan sebagai pelampiasan amarah, tapi sebagai jalan pulang — agar negara kembali pada akarnya, dan rakyat kembali merasa aman di tanah kelahirannya sendiri. (*)
Renungan pinggiran sawah Jogja, Jumat 5 September 2025 : Rakyat yang selalu terkalahkan,
Ir. Amin Topan