“Coretan Pena Tumpul dalam Sobekan Kertas Lusuh “
“Kami taat, kami percaya. Tapi kami ditinggalkan.”
Tulisan ini lahir dari spirit Satrisme — gagasan Satriyo saka Wetan yang berpihak pada rakyat kecil, kaum marjinal, dan mereka yang sering dipinggirkan oleh arus pembangunan. Dari sudut pandang inilah kami mencoba memotret ulang relasi rakyat dengan negara: apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi, atau justru sekadar menjadi perpanjangan tangan modal?
Negara Hadir, Tapi Untuk Siapa?
“Negara ini tidak absen. Ia hadir. Tapi kehadirannya sering kali menjadi ancaman, bukan harapan.”
Dalam banyak konflik agraria, negara memang hadir. Tapi bukan dengan pengacara rakyat, melainkan dengan aparat. Bukan dengan ruang musyawarah, melainkan dengan alat berat. Lihatlah Rempang, Wadas, tambang nikel, hingga reklamasi di berbagai wilayah: rakyat dihadapkan pada barikade, bukan perlindungan.
Kehadiran negara yang seperti ini menimbulkan kecurigaan struktural: negara tidak lagi netral, melainkan menjadi perpanjangan tangan kepentingan segelintir elite.
Negara Hadir Dari Atas, Bukan Dari Bawah
Rakyat jarang dilibatkan sejak awal. Mereka baru tahu setelah tanahnya masuk peta proyek, rumahnya mendapat surat peringatan, atau saat suara penolakan dibalas dengan pasal hukum. Negara hadir dengan peta, tapi tidak dengan empati.
Inilah wajah negara teknokratis: sibuk mengukur efisiensi, lupa bahwa rakyat bukan angka statistik.
Kepentingan Mengalahkan Kemanusiaan
Rakyat makin sadar: negara sering hadir bukan karena cinta, tapi karena kalkulasi politik dan ekonomi. Pemerintah sigap mengamankan proyek strategis, tapi lamban menjawab keluhan harga pupuk, air tercemar, atau anak muda yang ditangkap karena status di media sosial.
Akibatnya lahirlah trauma kolektif. Rakyat hidup dalam ketakutan bahwa setiap kritik bisa berujung kriminalisasi. Diam akhirnya menjadi cara bertahan, meski diam itu menyimpan bara.
Birokrasi yang Meninggi, Rakyat yang Menyusut
“Ketika meja-meja kekuasaan makin tinggi, suara rakyat makin tenggelam.”
Pelayanan publik hari ini sering kehilangan jiwa. Rakyat datang menagih hak, tapi dipaksa menghadapi tembok administrasi yang kaku. Sistem digital dibangun tanpa membangun literasi, layanan cepat dipromosikan tanpa edukasi.
Birokrasi lebih takut audit daripada menyalurkan nurani. Ia lebih sibuk menyenangkan atasan ketimbang mendengar rakyat kecil.
Loyalitas Negara: Rakyat atau Modal?
Negara konstitusional seharusnya berpihak pada rakyat. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Petani dituduh penghuni liar, nelayan dianggap perusuh, buruh dipidana karena menuntut hak. Semua karena mengganggu jalannya investasi.
UU Cipta Kerja menjadi simbol keberpihakan itu. Pasal-pasalnya memudahkan investor, tapi mengorbankan perlindungan rakyat dan lingkungan. Padahal Pasal 33 UUD 1945 jelas: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nyatanya, yang disebut “pembangunan nasional” lebih sering berarti proyek raksasa untuk segelintir elite. Pertanyaan sederhana pun menggema: pembangunan ini untuk siapa?
Perlawanan yang Sah dan Bermartabat
Melawan ketidakadilan bukanlah tindakan subversif, melainkan hak konstitusional. UU HAM, putusan MK, hingga UUD 1945 menegaskan kebebasan warga untuk menyatakan pendapat, mengorganisir diri, dan memperjuangkan haknya secara damai.
Perlawanan rakyat justru adalah ekspresi cinta tertinggi pada negeri ini — sebuah upaya menyelamatkan negara dari penyimpangan nilai-nilainya sendiri.
Bangkitnya Kesadaran
Rakyat tidak menolak pembangunan. Yang ditolak adalah pembangunan yang mengorbankan martabat manusia. Mereka tidak membenci negara; justru karena mereka mencintai, mereka berani mengkritik.
Kesadaran ini sedang tumbuh. Diam rakyat bukan penundukan, tapi pematangan. Dari diam itu, kelak lahir gelombang perubahan. Sejarah selalu berubah ketika rakyat sadar bahwa mereka bukan objek, tapi subjek bangsa.
Penutup
Indonesia didirikan bukan oleh modal, melainkan oleh keberanian moral rakyat. Maka, negara harus kembali berpihak pada rakyat kecil — mereka yang menanam, melaut, bekerja, dan berdoa demi negeri ini.
Inilah yang kami sebut sebagai jalan Satrisme: jalan perlawanan yang berakar pada cinta tanah air, keberpihakan pada kaum marjinal, dan keberanian menegakkan konstitusi.
Jika negara terus berpaling pada modal, maka rakyatlah yang akan memanggil kembali nurani bangsa. Karena negara yang hanya berpihak pada elite adalah negara yang kehilangan jiwanya.
Dan rakyat yang sadar, tidak akan tinggal diam. (*)
✍️ Renungan Pinggiran Sawah Jogja, Jumat 5 September 2025
Ir. Amin Topan
Owner PT. Matacon Trans Sinergi
Ketua Organisasi Leak Matacon
Ketua Umum Partai PASINDO
📌 Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan naskah opini kiriman dari Ir. Amin Topan, yang ditulis di Jogja pada Jumat, 5 September 2025, sebagai refleksi kaum marjinal melalui gagasan Satrisme (Satriyo saka Wetan). Redaksi Zonababel.com melakukan penyuntingan seperlunya hanya pada aspek teknis penulisan, tanpa mengubah substansi dan gagasan utama dari penulis.